Sabtu, 07 Maret 2020

A Beauty of Women: We Could Think Logically, but also Loving Unconditionally

A woman could done many things through her actions, her strong mindset, and her compassion.

        Selama ini perempuan selalu identik dengan sisi emosionalnya. Perempuan lebih ekspresif, lebih banyak bercerita, terlihat jauh lebih banyak tersenyum, tertawa atau menangis dibanding laki-laki. Memang benar, secara biologis seperti itu. As you know that we have different hormones!
        Besar sebagai anak sulung perempuan, membuatku punya banyak mimpi. Orang tuaku memberi banyak akses melihat dunia melalui buku dan TV. Punya banyak cita-cita? Jelas. Tidak masalah, keren juga ya masih kecil punya banyak keinginan.
        Tapi, beranjak remaja semua mulai berbeda. Masa di mana perempuan dan laki-laki menjadi orang yang baru, tidak lagi terlihat seperti anak kecil yang sama. Pertama kali punya jerawat di wajah, menstruasi, mood naik turun. Ribet! Standar kecantikan pun mulai berdatangan. Merawat diri lalu ingin diakui cantik oleh laki-laki. Padahal, lebih dari itu, when you look good, you feel good. That’s for ourself.
        Beranjak dewasa, perempuan sering mendengar larangan untuk sekolah tinggi, mengejar cita-cita, mengejar apapun yang diinginkannya karena ujungnya akan di rumah saja. Tidak usah berusaha menjadi hebat, nanti tidak ada laki-laki yang mau mendekat. Well, tbh I was insecure about it, hahaha.
        Lucky me I had the privilege. Aku punya banyak contoh perempuan kuat dan keren. Punya keluarga yang mendukung kesetaraan. Punya teman-teman perempuan yang berjuang untuk hidupnya. Punya teman-teman laki-laki yang sering mendengarkan dan membantu melatih berpikir logis. Punya banyak sekali kesempatan bekerja sama, berbagi tugas dan peran, tanpa rasa harus menilai apakah perempuan lebih baik dari laki-laki atau sebaliknya.
        Aku pernah menulis 3 tahun yang lalu. “Apa jadinya dunia jika hanya ada perempuan? Apa jadinya jika hanya ada laki-laki? Perempuan dengan segala dramanya, laki-laki dengan segala egonya.” Sedikit tambahan, perempuan dengan segala emosinya, laki-laki dengan segala logikanya.

        Iya, berbeda. Tidak sama, tapi bisa setara.

        Aku menemukan bahwa meskipun lebih emosional, perempuan juga bisa berlatih berpikir logis. Berlatih mengendalikan emosinya dengan baik. Siapa bilang mudah? Sulit tapi mungkin dilakukan. Perempuan bisa melangkah jauh dan melakukan banyak hal. Uniknya, perempuan punya kasih sayang yang bisa merangkul dan menggerakkan orang-orang di sekitarnya.
        Yes, women! You could think, use your smart brain, and give more to this world with all your pure heart. Let’s say goodbye to the stereotypes. Goodbye patriarchy, goodbye toxic masculinity.

        We might be a princess, we might be a queen. We might be a warrior, we might be a hero for ourself.
        I’m proud to be a woman. And you should be proud too!

p.s. if you a man, let’s be proud of women around you

Rabu, 08 Januari 2020

Everyone is Unique

Rin, pinjam otak bentar dong.
Aku sering denger kalimat itu dari SD. Bahkan bukan cuma pas musim ujian, kadang ada orang yang ngeliatin dan langsung bilang gitu.
Aku gak pernah marah atau gimana, tapi hal ini jadi semacam "pertanyaan besar" buatku. Kenapa bisa ya orang lain pengen meminjam sesuatu yang gak bisa dikasih pinjam? (this question coming up karena ada orang yang serius ngomongnya, tak sekedar bercanda)

Setelah masuk ke lingkungan yang lebih beragam, punya teman dengan latar belakang & pola pikir yang beda, belajar tentang self-love dan self acceptance.. I realized that there are many factors behind that.

Mungkin dulu (sebelum sistem ranking dihapus) semua orang menganggap ranking teratas di sekolah segala galanya.
Mungkin mereka penasaran.
Mungkin mereka kira hidupku akan lebih mudah karena ranking bagus.
Dan ada juga yang mengaku insecure, merasa minder kalau dekat aku.

Kalau pola pikirku masih kelewat childish atau antagonis gitu pasti langsung mikir "wow aku lebih keren pake banget dibanding kamuuu". Kemudian sombong lalu congkak.

But,  seriously.. Lahir di keluarga yang mendukung pendidikan dan bakatku adalah privilege (keistimewaan) tersendiri bagiku. Punya otak yang kadang-kadang pengen dipinjam orang lain pun privilege. Tapi kadang pusing juga karena over thinking.

Untuk teman temanku yang merasa insecure, kalian belum ketemu aja what's your best. Belum ketemu aja tujuan hidup kalian. It's all about time.
Kalian gak butuh pinjem otakku, mau kayak aku.. karena belum tentu juga kan kalian mau suka matematika kaya aku? 😂😂

Everyone is unique with their own brain, mind, talent, and character. Embrace yours.

Rabu, 01 Januari 2020

Kapan waktu itu datang?

Have you ever talk to yourself?
Who is my future husband?
How it will be?
Will I have a happily ever after marriage?
And many more questions..

Pertanyaan itu hanya dapat dijawab oleh waktu.
Mungkin dipertemukan besok, tahun depan, atau 5 tahun lagi.
Rahasia. Akan terbuka di suatu hari.

Have you ever fall in love?
Fall in love until it hurts.
You try to hide it, but your eyes can't lie anymore.
You try to silent, but your mouth want to say it louder.

Aku pernah.
Pernah mencintai sampai aku lupa mencintai diri sendiri.
Pernah bergantung. Terobsesi.
Memaksakan perasaan.
Mencari pelarian.
Dijadikan pelarian.

I learned a lot.
Love could not be forced.
If you fight on your own,
a relationship could not build up.

Jodoh itu satu frekuensi, kata Habibie.
Hakikat tertinggi dari mencintai itu melepaskan, kata Varsha.
Apa benar? kataku.

Yeah, surely that's true.
You will learn from heartbreak,  they said.
It was painful, but you may know yourself better.

Jodoh bukan hanya tentang cinta.
Memang hati yang merasa, tapi tak boleh tanpa logika.
Jangan bergantung pada manusia yang fana.
Sebab, dunia ini tak berpusat pada dirinya saja.

I thought love could conquer the world.
But it is not enough.
A relationship needs a vision,
there will be choices,
and decisions.

Berkali kali aku jatuh cinta.
Berkali kali pula aku melepaskan.
Hakikat tertinggi?
Ya, sebelum aku memaksakan dan lupa diri.

Is that easy?
No,  not at all.
Sometimes I wanna go back.
But I have to.
I have to let go.

Lalu kapan?
Kapan waktunya akan datang?
Kapan waktunya menghabiskan waktu bersama hingga hari tua?
Hingga kembali melepaskan, karena maut yang memisahkan.

Will it be sooner?
Or it will be later?
I don't know.
Everybody doesn't know.

Lagi lagi pertanyaan itu hanya dapat dijawab oleh waktu.
Mungkin segera.
Mungkin tidak di dunia ini.
Lagi lagi, itu rahasia.